Ibnu Batuta
Abu Abdullah Muhammad bin Battutah (24 Februari 1304 - 1368 atau 1377) adalah seorang pengembara Berber Maroko. Atas dorongan Sultan Maroko, Ibnu Batutah mendiktekan beberapa perjalanan pentingnya kepada seorang sarjana bernama Ibnu Juzay, yang ditemuinya ketika sedang berada di Iberia. Meskipun mengandung beberapa kisah fiksi, Rihlah merupakan catatan perjalanan dunia terlengkap yang berasal dari abad ke-14.Hampir semua yang diketahui tentang kehidupan Ibnu Batutah datang dari dirinya sendiri.
Meskipun dia mengiklankan bahawa hal-hal yang diceritakannya adalah apa yang dia lihat atau dia alami, kita tak bisa tahu kebenaran dari cerita tersebut. Lahir di Tangier, Maroko antara tahun 1304 dan 1307, pada usia sekitar dua puluh tahun Ibnu Batutah berangkat haji -- ziarah ke Mekah. Setelah selesai, dia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi 120.000 kilometer sepanjang dunia Muslim (sekitar 44 negara modern).
Perjalanannya ke Mekah melalui jalur darat, menyusuri pantai Afrika Utara hingga tiba di Kairo. Pada titik ini ia masih berada dalam wilayah Mamluk, yang relatif aman. Jalur yang umu digunakan menuju Mekah ada tiga, dan Ibnu Batutah memilih jalur yang paling jarang ditempuh: pengembaraan menuju sungai Nil, dilanjutkan ke arah timur melalui jalur darat menuju dermaga Laut Merah di 'Aydhad. Tetapi, ketika mendekati kota tersebut, ia dipaksa untuk kembali dengan alasan pertikaian lokal.
Kembail ke Kairo, ia menggunakan jalur kedua, ke Damaskus (yang selanjutnya dikuasai Mamluk), dengan alasan keterangan/anjuran seseorang yang ditemuinya di perjalanan pertama, bahwa ia hanya akan sampai di Mekah jika telah melalui Suriah. Keuntungan lain ketika memakai jalur pinggiran adalah ditemuinya tempat-tempat suci sepanjang jalur tersebut -- Hebron, Yerusalem, dan Betlehem, misalnya -- dan bahwa penguasa Mamluk memberikan perhatian khusus untuk mengamankan para peziarah.
Setelah menjalani Ramadhan di Damaskus, Ibnu Batutah bergabung dengan suatu rombongan yang menempuh jarak 800 mil dari Damaskus ke Madinah, tempat dimakamkannya Muhammad. Empat hari kemudian, dia melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Setelah melaksanakan rangkaian ritual haji, sebagai hasil renungannya, dia kemudian memutuskan untuk melanjutkan mengembara. Tujuan selanjutnya adalah Il-Khanate (sekarang Iraq dan Iran.
Dengan cara bergabung dengan suatu rombongan, dia melintasi perbatasan menuju Mesopotamia dan mengunjungi najaf, tempat dimakamkannya khalifah keempat Ali. Dari sana, dia melanjutkan ke Basrah, lalu Isfahan, yang hanya beberapa dekade jaraknya dengan penghancuran oleh Timur. Kemudian Shiraz dan Baghdad (Baghdad belum lama diserang habis-habisan oleh Hulagu Khan).
Di sana ia bertemu Abu Sa'id, pemimpin terakhir Il-Khanate. Ibnu Batutah untuk sementara mengembara bersama rombongan penguasa, kemudian berbelok ke utara menuju Tabriz di Jalur Sutra. Kota ini merupakan gerbang menuju Mongol, yang merupakan pusat perdagangan penting.
Setelah perjalanan ini, Ibnu Batutah kembali ke Mekah untuk haji kedua, dan tinggal selama setahun sebelum kemudian menjalani pengembaraan kedua melalui Laut Merah dan pantai Afrika Timur. Persinggahan pertamanya adalah Aden, dengan tujuan untuk berniaga menuju Semenanjung Arab dari sekitar Samudera Indonesia. Akan tetapi, sebelum itu, ia memutuskan untuk melakukan petualangan terakhir dan mempersiapkan suatu perjalanan sepanjang pantai Afrika.
Menghabiskan sekitar seminggu di setiap daerah tujuannya, Ibnu Batutah berkunjung ke Ethiopia, Mogadishu, Mombasa, Zanzibar, Kilwa, dan beberapa daerah lainnya. Mengikuti perubahan arah angin, dia bersama kapal yang ditumpanginya kembali ke Arab selatan. Setelah menyelesaikan petualangannya, sebelum menetap, ia berkunjung ke Oman dan Selat Hormuz. Setelah selesai, ia berziarah ke Mekah lagi.
Setelah setahun di sana, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di kesultanan Delhi. Untuk keperluan bahasa, dia mencari penterjemah di Anatolia. Kemudian di bawah kendali Turki Saljuk, ia bergabung dengan sebuah rombongan menuju India. Pelayaran laut dari Damaskus mendaratkannya di Alanya di pantai selatan Turki sekarang. Dari sini ia berkelana ke Konya dan Sinope di pantai Laut Hitam.
Setelah menyeberangi Laut Hitam, ia tiba di Kaffa, di Crimea, dan memasuki tanah Golden Horde. Dari sana ia membeli kereta dan bergabung dengan rombongan Ozbeg, Khan dari Golden Horde, dalam suatu perjalanan menuju Astrakhan di Sungai Volga.
Meskipun dia mengiklankan bahawa hal-hal yang diceritakannya adalah apa yang dia lihat atau dia alami, kita tak bisa tahu kebenaran dari cerita tersebut. Lahir di Tangier, Maroko antara tahun 1304 dan 1307, pada usia sekitar dua puluh tahun Ibnu Batutah berangkat haji -- ziarah ke Mekah. Setelah selesai, dia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi 120.000 kilometer sepanjang dunia Muslim (sekitar 44 negara modern).
Perjalanannya ke Mekah melalui jalur darat, menyusuri pantai Afrika Utara hingga tiba di Kairo. Pada titik ini ia masih berada dalam wilayah Mamluk, yang relatif aman. Jalur yang umu digunakan menuju Mekah ada tiga, dan Ibnu Batutah memilih jalur yang paling jarang ditempuh: pengembaraan menuju sungai Nil, dilanjutkan ke arah timur melalui jalur darat menuju dermaga Laut Merah di 'Aydhad. Tetapi, ketika mendekati kota tersebut, ia dipaksa untuk kembali dengan alasan pertikaian lokal.
Kembail ke Kairo, ia menggunakan jalur kedua, ke Damaskus (yang selanjutnya dikuasai Mamluk), dengan alasan keterangan/anjuran seseorang yang ditemuinya di perjalanan pertama, bahwa ia hanya akan sampai di Mekah jika telah melalui Suriah. Keuntungan lain ketika memakai jalur pinggiran adalah ditemuinya tempat-tempat suci sepanjang jalur tersebut -- Hebron, Yerusalem, dan Betlehem, misalnya -- dan bahwa penguasa Mamluk memberikan perhatian khusus untuk mengamankan para peziarah.
Setelah menjalani Ramadhan di Damaskus, Ibnu Batutah bergabung dengan suatu rombongan yang menempuh jarak 800 mil dari Damaskus ke Madinah, tempat dimakamkannya Muhammad. Empat hari kemudian, dia melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Setelah melaksanakan rangkaian ritual haji, sebagai hasil renungannya, dia kemudian memutuskan untuk melanjutkan mengembara. Tujuan selanjutnya adalah Il-Khanate (sekarang Iraq dan Iran.
Dengan cara bergabung dengan suatu rombongan, dia melintasi perbatasan menuju Mesopotamia dan mengunjungi najaf, tempat dimakamkannya khalifah keempat Ali. Dari sana, dia melanjutkan ke Basrah, lalu Isfahan, yang hanya beberapa dekade jaraknya dengan penghancuran oleh Timur. Kemudian Shiraz dan Baghdad (Baghdad belum lama diserang habis-habisan oleh Hulagu Khan).
Di sana ia bertemu Abu Sa'id, pemimpin terakhir Il-Khanate. Ibnu Batutah untuk sementara mengembara bersama rombongan penguasa, kemudian berbelok ke utara menuju Tabriz di Jalur Sutra. Kota ini merupakan gerbang menuju Mongol, yang merupakan pusat perdagangan penting.
Setelah perjalanan ini, Ibnu Batutah kembali ke Mekah untuk haji kedua, dan tinggal selama setahun sebelum kemudian menjalani pengembaraan kedua melalui Laut Merah dan pantai Afrika Timur. Persinggahan pertamanya adalah Aden, dengan tujuan untuk berniaga menuju Semenanjung Arab dari sekitar Samudera Indonesia. Akan tetapi, sebelum itu, ia memutuskan untuk melakukan petualangan terakhir dan mempersiapkan suatu perjalanan sepanjang pantai Afrika.
Menghabiskan sekitar seminggu di setiap daerah tujuannya, Ibnu Batutah berkunjung ke Ethiopia, Mogadishu, Mombasa, Zanzibar, Kilwa, dan beberapa daerah lainnya. Mengikuti perubahan arah angin, dia bersama kapal yang ditumpanginya kembali ke Arab selatan. Setelah menyelesaikan petualangannya, sebelum menetap, ia berkunjung ke Oman dan Selat Hormuz. Setelah selesai, ia berziarah ke Mekah lagi.
Setelah setahun di sana, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di kesultanan Delhi. Untuk keperluan bahasa, dia mencari penterjemah di Anatolia. Kemudian di bawah kendali Turki Saljuk, ia bergabung dengan sebuah rombongan menuju India. Pelayaran laut dari Damaskus mendaratkannya di Alanya di pantai selatan Turki sekarang. Dari sini ia berkelana ke Konya dan Sinope di pantai Laut Hitam.
Setelah menyeberangi Laut Hitam, ia tiba di Kaffa, di Crimea, dan memasuki tanah Golden Horde. Dari sana ia membeli kereta dan bergabung dengan rombongan Ozbeg, Khan dari Golden Horde, dalam suatu perjalanan menuju Astrakhan di Sungai Volga.
Ibnu Sina
Ibnu Sina merupakan doktor Islam yang terulung. Sumbangannya dalam bidang perubatan bukan sahaja diperakui oleh dunia Islam tetapi juga oleh para sarjana Barat. Nama sebenar Ibnu Sina ialah Abu Ali al-Hussian Ibnu Abdullah. Tetapi di Barat, beliau lebih dikenali sebagai Avicenna.
Ibnu Sina dilahirkan pada tahun 370 Hijrah bersamaan dengan 980 Masihi. Pengajian peringkat awalnya bermula di Bukhara dalam bidang bahasa dan sastera. Selain itu, beliau turut mempelajari ilmu-ilmu lain seperti geometri, logik, matematik, sains, fiqh, dan perubatan.
Walaupun Ibnu Sina menguasai pelbagai ilmu pengetahuan termasuk falsafah tetapi beliau lebih menonjol dalam bidang perubatan sama ada sebagai seorang doktor ataupun mahaguru ilmu tersebut.
Ibnu Sina mula menjadi terkenal selepas berjaya menyembuhkan penyakit Putera Nub Ibn Nas al-Samani yang gagal diubati oleh doktor yang lain. Kehebatan dan kepakaran dalam bidang perubatan tiada tolok bandingnya sehingga beliau diberikan gelaran al-Syeikh al-Rais (Mahaguru Pertama).
Kemasyhurannya melangkaui wilayah dan negara Islam. Bukunya Al Qanun fil Tabib telah diterbitkan diRom pada tahun 1593 sebelum dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul Precepts of Medicine. Dalam jangka masa tidak sampai 100 tahun, buku itu telah dicetak ke dalam 15 buah bahasa. Pada abad ke-17, buku tersebut telah dijadikan sebagai bahan rujukan asas diuniversiti-universiti Itali dan Perancis. Malahan sehingga abad ke-19, bukunya masih diulang cetak dan digunakan oleh para pelajar perubatan.
Ibnu Sina juga telah menghasilkan sebuah buku yang diberi judul Remedies for The Heart yang mengandungi sajak-sajak perubatan. Dalam buku itu, beliau telah menceritakan dan menghuraikan 760 jenis penyakit bersama dengan cara untuk mengubatinya. Hasil tulisan Ibnu Sina sebenarnya tidak terbatas kepada ilmu perubatan sahaja. Tetapi turut merangkumi bidang dan ilmu lain seperti metafizik, muzik, astronomi, philologi (ilmu bahasa), syair, prosa, dan agama.
Penguasaannya dalam pelbagai bidang ilmu itu telah menjadikannya seorang tokoh sarjana yang serba boleh. Beliau tidak sekadar menguasainya tetapi berjaya mencapai tahap zenith iaitu puncak kecemerlangan tertinggi dalam bidang yang diceburinya.
Di samping menjadi zenith dalam bidang perubatan, Ibnu Sina juga menduduki ranking yang tinggi dalam bidang ilmu logik sehingga digelar guru ketiga. Dalam bidang penulisan, Ibnu Sina telah menghasilkan ratusan karya termasuk kumpulan risalah yang mengandungi hasil sastera kreatif.
Perkara yang lebih menakjubkan pada Ibnu Sina ialah beliau juga merupakan seorang ahli falsafah yang terkenal. Beliau pernah menulis sebuah buku berjudul al-Najah yang membicarakan persoalan falsafah. Pemikiran falsafah Ibnu Sina banyak dipengaruhi oleh aliran falsafah al-Farabi yang telah menghidupkan pemikiran Aristotle. Oleh sebab itu, pandangan perubatan Ibnu Sina turut dipengaruhi oleh asas dan teori perubatan Yunani khususnya Hippocrates.
Perubatan Yunani berasaskan teori empat unsur yang dinamakan humours iaitu darah, lendir (phlegm), hempedu kuning (yellow bile), dan hempedu hitam (black bile). Menurut teori ini, kesihatan seseorang mempunyai hubungan dengan campuran keempat-empat unsur tersebut. Keempat-empat unsur itu harus berada pada kadar yang seimbang dan apabila keseimbangan ini diganggu maka seseorang akan mendapat penyakit.
Setiap individu dikatakan mempunyai formula keseimbangan yang berlainan. Meskipun teori itu didapati tidak tepat tetapi telah meletakkan satu landasan kukuh kepada dunia perubatan untuk mengenal pasti punca penyakit yang menjangkiti manusia. Ibnu Sina telah menapis teori-teori kosmogoni Yunani ini dan mengislamkannya.
Ibnu Sina percaya bahawa setiap tubuh manusia terdiri daripada empat unsur iaitu tanah, air, api, dan angin. Keempat-empat unsur ini memberikan sifat lembap, sejuk, panas, dan kering serta sentiasa bergantung kepada unsur lain yang terdapat dalam alam ini. Ibnu Sina percaya bahawa wujud ketahanan semula jadi dalam tubuh manusia untuk melawan penyakit. Jadi, selain keseimbangan unsur-unsur yang dinyatakan itu, manusia juga memerlukan ketahanan yang kuat dalam tubuh bagi mengekalkan kesihatan dan proses penyembuhan.
Pengaruh pemikiran Yunani bukan sahaja dapat dilihat dalam pandangan Ibnu Sina mengenai kesihatan dan perubatan, tetapi juga bidang falsafah. Ibnu Sina berpendapat bahawa matematik boleh digunakan untuk mengenal Tuhan. Pandangan seumpama itu pernah dikemukakan oleh ahli falsafah Yunani seperti Pythagoras untuk menghuraikan mengenai sesuatu kejadian. Bagi Pythagoras, sesuatu barangan mempunyai angka-angka dan angka itu berkuasa di alam ini. Berdasarkan pandangan itu, maka Imam al-Ghazali telah menyifatkan fahaman Ibnu Sina sebagai sesat dan lebih merosakkan daripada kepercayaan Yahudi dan Nasrani.
Sebenarnya, Ibnu Sina tidak pernah menolak kekuasaan Tuhan. Dalam buku An-Najah, Ibnu Sina telah menyatakan bahawa pencipta yang dinamakan sebagai "Wajib al-Wujud" ialah satu. Dia tidak berbentuk dan tidak boleh dibahagikan dengan apa-apa cara sekalipun. Menurut Ibnu Sina, segala yang wujud (mumkin al-wujud) terbit daripada "Wajib al-Wujud" yang tidak ada permulaan.
Tetapi tidaklah wajib segala yang wujud itu datang daripada Wajib al-Wujud sebab Dia berkehendak bukan mengikut kehendak. Walau bagaimanapun, tidak menjadi halangan bagi Wajib al-Wujud untuk melimpahkan atau menerbitkan segala yang wujud sebab kesempurnaan dan ketinggian-Nya.
Pemikiran falsafah dan konsep ketuhanannya telah ditulis oleh Ibnu Sina dalam bab "Himah Ilahiyyah" dalam fasal "Tentang adanya susunan akal dan nufus langit dan jirim atasan.
Pemikiran Ibnu Sina ini telah rnencetuskan kontroversi dan telah disifatkan sebagai satu percubaan untuk membahaskan zat Allah. Al-Ghazali telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafat al'Falasifah (Tidak Ada Kesinambungan Dalam Pemikiran Ahli Falsafah) untuk membahaskan pemikiran Ibnu Sina dan al-Farabi.
Antara percanggahan yang diutarakan oleh al-Ghazali ialah penyangkalan terhadap kepercayaan dalam keabadian planet bumi, penyangkalan terhadap penafian Ibnu Sina dan al-Farabi mengenai pembangkitan jasad manusia dengan perasaan kebahagiaan dan kesengsaraan di syurga atau neraka.
Walau apa pun pandangan yang dikemukakan, sumbangan Ibnu Sina dalam perkembangan falsafah Islam tidak mungkin dapat dinafikan. Bahkan beliau boleh dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab menyusun ilmu falsafah dan sains dalam Islam. Sesungguhnya, Ibnu Sina tidak sahaja unggul dalam bidang perubatan tetapi kehebatan dalam bidang falsafah mengatasi gurunya sendiri iaitu al-Farabi.
Ibn Maskawaih
Ibnu Sina dilahirkan pada tahun 370 Hijrah bersamaan dengan 980 Masihi. Pengajian peringkat awalnya bermula di Bukhara dalam bidang bahasa dan sastera. Selain itu, beliau turut mempelajari ilmu-ilmu lain seperti geometri, logik, matematik, sains, fiqh, dan perubatan.
Walaupun Ibnu Sina menguasai pelbagai ilmu pengetahuan termasuk falsafah tetapi beliau lebih menonjol dalam bidang perubatan sama ada sebagai seorang doktor ataupun mahaguru ilmu tersebut.
Ibnu Sina mula menjadi terkenal selepas berjaya menyembuhkan penyakit Putera Nub Ibn Nas al-Samani yang gagal diubati oleh doktor yang lain. Kehebatan dan kepakaran dalam bidang perubatan tiada tolok bandingnya sehingga beliau diberikan gelaran al-Syeikh al-Rais (Mahaguru Pertama).
Kemasyhurannya melangkaui wilayah dan negara Islam. Bukunya Al Qanun fil Tabib telah diterbitkan diRom pada tahun 1593 sebelum dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul Precepts of Medicine. Dalam jangka masa tidak sampai 100 tahun, buku itu telah dicetak ke dalam 15 buah bahasa. Pada abad ke-17, buku tersebut telah dijadikan sebagai bahan rujukan asas diuniversiti-universiti Itali dan Perancis. Malahan sehingga abad ke-19, bukunya masih diulang cetak dan digunakan oleh para pelajar perubatan.
Ibnu Sina juga telah menghasilkan sebuah buku yang diberi judul Remedies for The Heart yang mengandungi sajak-sajak perubatan. Dalam buku itu, beliau telah menceritakan dan menghuraikan 760 jenis penyakit bersama dengan cara untuk mengubatinya. Hasil tulisan Ibnu Sina sebenarnya tidak terbatas kepada ilmu perubatan sahaja. Tetapi turut merangkumi bidang dan ilmu lain seperti metafizik, muzik, astronomi, philologi (ilmu bahasa), syair, prosa, dan agama.
Penguasaannya dalam pelbagai bidang ilmu itu telah menjadikannya seorang tokoh sarjana yang serba boleh. Beliau tidak sekadar menguasainya tetapi berjaya mencapai tahap zenith iaitu puncak kecemerlangan tertinggi dalam bidang yang diceburinya.
Di samping menjadi zenith dalam bidang perubatan, Ibnu Sina juga menduduki ranking yang tinggi dalam bidang ilmu logik sehingga digelar guru ketiga. Dalam bidang penulisan, Ibnu Sina telah menghasilkan ratusan karya termasuk kumpulan risalah yang mengandungi hasil sastera kreatif.
Perkara yang lebih menakjubkan pada Ibnu Sina ialah beliau juga merupakan seorang ahli falsafah yang terkenal. Beliau pernah menulis sebuah buku berjudul al-Najah yang membicarakan persoalan falsafah. Pemikiran falsafah Ibnu Sina banyak dipengaruhi oleh aliran falsafah al-Farabi yang telah menghidupkan pemikiran Aristotle. Oleh sebab itu, pandangan perubatan Ibnu Sina turut dipengaruhi oleh asas dan teori perubatan Yunani khususnya Hippocrates.
Perubatan Yunani berasaskan teori empat unsur yang dinamakan humours iaitu darah, lendir (phlegm), hempedu kuning (yellow bile), dan hempedu hitam (black bile). Menurut teori ini, kesihatan seseorang mempunyai hubungan dengan campuran keempat-empat unsur tersebut. Keempat-empat unsur itu harus berada pada kadar yang seimbang dan apabila keseimbangan ini diganggu maka seseorang akan mendapat penyakit.
Setiap individu dikatakan mempunyai formula keseimbangan yang berlainan. Meskipun teori itu didapati tidak tepat tetapi telah meletakkan satu landasan kukuh kepada dunia perubatan untuk mengenal pasti punca penyakit yang menjangkiti manusia. Ibnu Sina telah menapis teori-teori kosmogoni Yunani ini dan mengislamkannya.
Ibnu Sina percaya bahawa setiap tubuh manusia terdiri daripada empat unsur iaitu tanah, air, api, dan angin. Keempat-empat unsur ini memberikan sifat lembap, sejuk, panas, dan kering serta sentiasa bergantung kepada unsur lain yang terdapat dalam alam ini. Ibnu Sina percaya bahawa wujud ketahanan semula jadi dalam tubuh manusia untuk melawan penyakit. Jadi, selain keseimbangan unsur-unsur yang dinyatakan itu, manusia juga memerlukan ketahanan yang kuat dalam tubuh bagi mengekalkan kesihatan dan proses penyembuhan.
Pengaruh pemikiran Yunani bukan sahaja dapat dilihat dalam pandangan Ibnu Sina mengenai kesihatan dan perubatan, tetapi juga bidang falsafah. Ibnu Sina berpendapat bahawa matematik boleh digunakan untuk mengenal Tuhan. Pandangan seumpama itu pernah dikemukakan oleh ahli falsafah Yunani seperti Pythagoras untuk menghuraikan mengenai sesuatu kejadian. Bagi Pythagoras, sesuatu barangan mempunyai angka-angka dan angka itu berkuasa di alam ini. Berdasarkan pandangan itu, maka Imam al-Ghazali telah menyifatkan fahaman Ibnu Sina sebagai sesat dan lebih merosakkan daripada kepercayaan Yahudi dan Nasrani.
Sebenarnya, Ibnu Sina tidak pernah menolak kekuasaan Tuhan. Dalam buku An-Najah, Ibnu Sina telah menyatakan bahawa pencipta yang dinamakan sebagai "Wajib al-Wujud" ialah satu. Dia tidak berbentuk dan tidak boleh dibahagikan dengan apa-apa cara sekalipun. Menurut Ibnu Sina, segala yang wujud (mumkin al-wujud) terbit daripada "Wajib al-Wujud" yang tidak ada permulaan.
Tetapi tidaklah wajib segala yang wujud itu datang daripada Wajib al-Wujud sebab Dia berkehendak bukan mengikut kehendak. Walau bagaimanapun, tidak menjadi halangan bagi Wajib al-Wujud untuk melimpahkan atau menerbitkan segala yang wujud sebab kesempurnaan dan ketinggian-Nya.
Pemikiran falsafah dan konsep ketuhanannya telah ditulis oleh Ibnu Sina dalam bab "Himah Ilahiyyah" dalam fasal "Tentang adanya susunan akal dan nufus langit dan jirim atasan.
Pemikiran Ibnu Sina ini telah rnencetuskan kontroversi dan telah disifatkan sebagai satu percubaan untuk membahaskan zat Allah. Al-Ghazali telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafat al'Falasifah (Tidak Ada Kesinambungan Dalam Pemikiran Ahli Falsafah) untuk membahaskan pemikiran Ibnu Sina dan al-Farabi.
Antara percanggahan yang diutarakan oleh al-Ghazali ialah penyangkalan terhadap kepercayaan dalam keabadian planet bumi, penyangkalan terhadap penafian Ibnu Sina dan al-Farabi mengenai pembangkitan jasad manusia dengan perasaan kebahagiaan dan kesengsaraan di syurga atau neraka.
Walau apa pun pandangan yang dikemukakan, sumbangan Ibnu Sina dalam perkembangan falsafah Islam tidak mungkin dapat dinafikan. Bahkan beliau boleh dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab menyusun ilmu falsafah dan sains dalam Islam. Sesungguhnya, Ibnu Sina tidak sahaja unggul dalam bidang perubatan tetapi kehebatan dalam bidang falsafah mengatasi gurunya sendiri iaitu al-Farabi.
Ibn Maskawaih
Orang yang mengasaskan teori evolusi
Ibn Maskawaih atau nama sebenarnya Abu Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Yaakub bin Maskawaih merupakan ilmuwan Islam yang terpenting. Walaupun pemikiran falsafahnya tidak banyak dibicarakan tetapi beliau telah mengemukakan berbagai-bagai teori falsafah penting yang menjadi asas kepada pemikiran falsafah tokoh-tokoh selepasnya.
Pandangannya mengenai manusia dan perkembangan masyarakat bukan sahaja menjadi asas pemikiran kepada ilmuwan Islam yang lain seperti Ibnu Khaldun dan Jamaluddin Al Rini tetapi juga para sarjana Barat. Teori evolusi yang dikemukakannya telah dijadikan sebagai bahan kajian oleh Charles Darwin yang kemudiannya menerbitkan buku Origin of
Species mengenai kejadian dan asal-usul manusia.
Dalam buku tersebut, Charles Darwin telah menyatakan bahawa manusia berkembang secara evolusi daripada spesies hidupan yang paling ringkas kepada yang kompleks. Perkembangan itu berlaku secara perlahan-lahan dan mengambil masa yang lama. Hasil daripada kajian dan pemerhatiannya terhadap pelbagai spesies hidupan dan fosil di beberapa buah benua, beliau akhirnya membuat keputusan bahawa manusia sebenarnya berasal daripada beruk melalui proses evolusi.
Teori evolusinya telah menjadi kontroversi dan mendapat tentangan daripada pihak gereja kerana dia menafikan peranan Tuhan dalam menjadikan kehidupan di muka bumi ini. Namun begitu, teori berkenaan telah menjadikan Darwin terkenal dan dianggap sebagai pelopor teori evolusi yang digunakan oleh para sarjana dalam bidang antropologi dan sosiologi dalam menghuraikansejarah serta perjalanan manusia serta perkembangan masyarakat. Padahal teori evolusi telah lama digunakan oleh Ibn Maskawaih dalam kajiannya mengenai perabadan manusia.
Menurutnya, kecerdikan manusia tidaklah mengatasi kepintaran yang dimiliki oleh beruk. Tetapi manusia menjadi lebih cerdik kerana pengalaman yang mereka peroleh dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi Ibn Maskawaih, manusia itu ialah sebuah dunia yang kecil dan padanya terdapat gambaran mengenai segala yang ada di dunia ini. Setiap manusia mempunyai peranannya yang tersendiri sama ada sebagai individu ataupun anggota masyarakat.
Pendapat beliau ini menepati "Teori Fungsi" yang dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi Perancis yang bernama Auguste Comte. Sekiranya setiap anggota masyarakat melaksanakan peranan dan fungsinya maka masyarakat itu akan berada dalam keadaan yang stabil dan bersatu padu serta membolehkannya berkembang dengan teratur. Manakala sebarang gangguan terhadap fungsi itu akan mengakibatkan berlakunya konflik dan pergolakan dalam masyarakat.
Secara tidak langsung akan membawa keruntuhan kepada masyarakat tersebut. Jadi, tidak keterlaluan kalau di katakan bahawa Ibn Maskawaih juga merupakan pengasas kepada Teori Fungsi yang digunakan oleh para penganalisis sosial yang menjalankan kajian tentang masyarakat kuno dan moden. Walaupun beliau terdidik dalam bidang perubatan, tetapi minatnya yang mendalam terhadap ilmu, telah mendorongnya
mempelajari kesusasteraan, falsafah, kimia, bahasa, dan ilmu klasik yang lain.
Beliau menguasai dan mempunyai kepakaran setiap bidang yang dipelajarinya. Ibnu Maskawaih juga ahli sejarah dan ilmuwan akhlak yang handal. Semua ilmu pengetahuan itu tidak dipelajari sekali gus seperti yang sering dilakukan oleh sarjana Islam yang lain. Beliau mempelajarinya secara berperingkat-peringkat dan akhirnya mendapati bidang falsafah sesuai dengan dirinya sebagai seorang pemikir. Memulakan kerjayanya sebagai doktor sebelum dilantik menjadi setiausaha kepada beberapa orang menteri seperti Mueiz al Daulah.
Pengalaman tersebut memberikan beliau peluang yang luas untuk mendampingi masyarakat dan orang ramai. Selepas kematian Mueiz, beliau dilantik oleh Menteri Ibnu Amid menjadi ketua perpustakaan. Kesempatan ini telah digunakan untuk menelaah berbagai-bagai buku yang ditulis oleh para ilmuwan Islam dan Yunani. Selepas itu, beliau dilantik pula sebagai Ketua Pemegang Amanah Khazanah yang bertanggungjawab menjaga Perpustakaan Malik Adhdud Daulah yang memerintah dari tahun 367-372H. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang ada padanya, Ibn Muskawaih telah berjaya membina ketokohannya sebagai seorang ilmuwan yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam pelbagai bidang.
Banyak teori telah dihasilkan oleh beliau dan tidak terbatas kepada bidang falsafah semata-mata. Beliau menulis berbagai-bagai kitab yang membicarakan pelbagai persoalan. Antaranya Kitab al-Fauz al-Saghir yang menumpukan pembicaraan kepada persoalan yang berkaitan dengan metafizik iaitu tentang Allah, kerasulan dan jiwa. Kebanyakan pandangannya mengenai perkara ini disesuaikan daripada pandangan ahli falsafah Yunani. Kesan pemikiran falsafah Yunani terhadap Ibn Muskawaih dapat dilihat pada pandangannya mengenai jiwa.
Semasa mengungkap persoalan ini, beliau menyatakan bahawa jiwa merupakan roh yang berlainan daripada tubuh dan tidak mungkin dapat dilihat dan disentuh oleh pancaindera. Baginya jiwa sesuatu yangdapat menerima dua perkara pada satu masa yang sama seperti keadaan hitam dan putih pada satu waktu. Beliau juga telah mengemukakan teori akhlak dalam kitabnya yang berjudul kitab Tahzib al-Akhlaq. Dalam kitab itu, beliau menyebut kemuncak akhlak ialah apabila lahirnya perbuatan-perbuatan baik yang
dilakukan secara teratur.
Oleh itu, akhlak yang baik hanya akan lahir daripada jiwa yang bersih dan begitu juga sebaliknya.Untuk mendapat jiwa yang bersih maka anak-anak sejak kecil lagi harus didedahkan dengan nilai-nilai yang baik. Nilai-nilai buruk pula hanya akan mengganggu proses tumbesaran dan menyebabkan mereka membesar tanpa menghiraukan tatasusila. Anak-anak perlu dilatih pada peringkat awal tumbesaran supaya bersikap dan bertindak mengikut nilai-nilai ini agar sebati dengan diri serta sanubari mereka.
Ibn Maskawaih turut menulis beberapa buah kitab yang lain seperti al'Adwiah al-Mufra-dah tentang ubat-ubatan, Uns al'Farid sebuah antologi cerpen, Tajarub al'Umarn sebuah catatan mengenai sejarah, al-Tabikh mengenai kaedah memasak, al'Asyribah yang membicarakan tentang minuman, al'Fauz al-Kabir, dan Tajrib al'Um. Berdasarkan banyak kitab yang ditulisnya maka ketokohannya sebagai ahli falsafah dan pengarang tidak dapat dinafikan. Idea dan pandangannya jelas mendahului zaman menjadikannya sebagai salah seorang ilmuwan serta sarjana Islam yang tiada tolok bandingan pada zamannya. Sesungguhnya Ibn Maskawaih yang dilahirkan pada 330H (941M) di Kota Rhages itu akan terus dikenang sebagai seorang ahli falsafah yang kaya dengan teori-teorinya.
Ibn Maskawaih atau nama sebenarnya Abu Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Yaakub bin Maskawaih merupakan ilmuwan Islam yang terpenting. Walaupun pemikiran falsafahnya tidak banyak dibicarakan tetapi beliau telah mengemukakan berbagai-bagai teori falsafah penting yang menjadi asas kepada pemikiran falsafah tokoh-tokoh selepasnya.
Pandangannya mengenai manusia dan perkembangan masyarakat bukan sahaja menjadi asas pemikiran kepada ilmuwan Islam yang lain seperti Ibnu Khaldun dan Jamaluddin Al Rini tetapi juga para sarjana Barat. Teori evolusi yang dikemukakannya telah dijadikan sebagai bahan kajian oleh Charles Darwin yang kemudiannya menerbitkan buku Origin of
Species mengenai kejadian dan asal-usul manusia.
Dalam buku tersebut, Charles Darwin telah menyatakan bahawa manusia berkembang secara evolusi daripada spesies hidupan yang paling ringkas kepada yang kompleks. Perkembangan itu berlaku secara perlahan-lahan dan mengambil masa yang lama. Hasil daripada kajian dan pemerhatiannya terhadap pelbagai spesies hidupan dan fosil di beberapa buah benua, beliau akhirnya membuat keputusan bahawa manusia sebenarnya berasal daripada beruk melalui proses evolusi.
Teori evolusinya telah menjadi kontroversi dan mendapat tentangan daripada pihak gereja kerana dia menafikan peranan Tuhan dalam menjadikan kehidupan di muka bumi ini. Namun begitu, teori berkenaan telah menjadikan Darwin terkenal dan dianggap sebagai pelopor teori evolusi yang digunakan oleh para sarjana dalam bidang antropologi dan sosiologi dalam menghuraikansejarah serta perjalanan manusia serta perkembangan masyarakat. Padahal teori evolusi telah lama digunakan oleh Ibn Maskawaih dalam kajiannya mengenai perabadan manusia.
Menurutnya, kecerdikan manusia tidaklah mengatasi kepintaran yang dimiliki oleh beruk. Tetapi manusia menjadi lebih cerdik kerana pengalaman yang mereka peroleh dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi Ibn Maskawaih, manusia itu ialah sebuah dunia yang kecil dan padanya terdapat gambaran mengenai segala yang ada di dunia ini. Setiap manusia mempunyai peranannya yang tersendiri sama ada sebagai individu ataupun anggota masyarakat.
Pendapat beliau ini menepati "Teori Fungsi" yang dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi Perancis yang bernama Auguste Comte. Sekiranya setiap anggota masyarakat melaksanakan peranan dan fungsinya maka masyarakat itu akan berada dalam keadaan yang stabil dan bersatu padu serta membolehkannya berkembang dengan teratur. Manakala sebarang gangguan terhadap fungsi itu akan mengakibatkan berlakunya konflik dan pergolakan dalam masyarakat.
Secara tidak langsung akan membawa keruntuhan kepada masyarakat tersebut. Jadi, tidak keterlaluan kalau di katakan bahawa Ibn Maskawaih juga merupakan pengasas kepada Teori Fungsi yang digunakan oleh para penganalisis sosial yang menjalankan kajian tentang masyarakat kuno dan moden. Walaupun beliau terdidik dalam bidang perubatan, tetapi minatnya yang mendalam terhadap ilmu, telah mendorongnya
mempelajari kesusasteraan, falsafah, kimia, bahasa, dan ilmu klasik yang lain.
Beliau menguasai dan mempunyai kepakaran setiap bidang yang dipelajarinya. Ibnu Maskawaih juga ahli sejarah dan ilmuwan akhlak yang handal. Semua ilmu pengetahuan itu tidak dipelajari sekali gus seperti yang sering dilakukan oleh sarjana Islam yang lain. Beliau mempelajarinya secara berperingkat-peringkat dan akhirnya mendapati bidang falsafah sesuai dengan dirinya sebagai seorang pemikir. Memulakan kerjayanya sebagai doktor sebelum dilantik menjadi setiausaha kepada beberapa orang menteri seperti Mueiz al Daulah.
Pengalaman tersebut memberikan beliau peluang yang luas untuk mendampingi masyarakat dan orang ramai. Selepas kematian Mueiz, beliau dilantik oleh Menteri Ibnu Amid menjadi ketua perpustakaan. Kesempatan ini telah digunakan untuk menelaah berbagai-bagai buku yang ditulis oleh para ilmuwan Islam dan Yunani. Selepas itu, beliau dilantik pula sebagai Ketua Pemegang Amanah Khazanah yang bertanggungjawab menjaga Perpustakaan Malik Adhdud Daulah yang memerintah dari tahun 367-372H. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang ada padanya, Ibn Muskawaih telah berjaya membina ketokohannya sebagai seorang ilmuwan yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam pelbagai bidang.
Banyak teori telah dihasilkan oleh beliau dan tidak terbatas kepada bidang falsafah semata-mata. Beliau menulis berbagai-bagai kitab yang membicarakan pelbagai persoalan. Antaranya Kitab al-Fauz al-Saghir yang menumpukan pembicaraan kepada persoalan yang berkaitan dengan metafizik iaitu tentang Allah, kerasulan dan jiwa. Kebanyakan pandangannya mengenai perkara ini disesuaikan daripada pandangan ahli falsafah Yunani. Kesan pemikiran falsafah Yunani terhadap Ibn Muskawaih dapat dilihat pada pandangannya mengenai jiwa.
Semasa mengungkap persoalan ini, beliau menyatakan bahawa jiwa merupakan roh yang berlainan daripada tubuh dan tidak mungkin dapat dilihat dan disentuh oleh pancaindera. Baginya jiwa sesuatu yangdapat menerima dua perkara pada satu masa yang sama seperti keadaan hitam dan putih pada satu waktu. Beliau juga telah mengemukakan teori akhlak dalam kitabnya yang berjudul kitab Tahzib al-Akhlaq. Dalam kitab itu, beliau menyebut kemuncak akhlak ialah apabila lahirnya perbuatan-perbuatan baik yang
dilakukan secara teratur.
Oleh itu, akhlak yang baik hanya akan lahir daripada jiwa yang bersih dan begitu juga sebaliknya.Untuk mendapat jiwa yang bersih maka anak-anak sejak kecil lagi harus didedahkan dengan nilai-nilai yang baik. Nilai-nilai buruk pula hanya akan mengganggu proses tumbesaran dan menyebabkan mereka membesar tanpa menghiraukan tatasusila. Anak-anak perlu dilatih pada peringkat awal tumbesaran supaya bersikap dan bertindak mengikut nilai-nilai ini agar sebati dengan diri serta sanubari mereka.
Ibn Maskawaih turut menulis beberapa buah kitab yang lain seperti al'Adwiah al-Mufra-dah tentang ubat-ubatan, Uns al'Farid sebuah antologi cerpen, Tajarub al'Umarn sebuah catatan mengenai sejarah, al-Tabikh mengenai kaedah memasak, al'Asyribah yang membicarakan tentang minuman, al'Fauz al-Kabir, dan Tajrib al'Um. Berdasarkan banyak kitab yang ditulisnya maka ketokohannya sebagai ahli falsafah dan pengarang tidak dapat dinafikan. Idea dan pandangannya jelas mendahului zaman menjadikannya sebagai salah seorang ilmuwan serta sarjana Islam yang tiada tolok bandingan pada zamannya. Sesungguhnya Ibn Maskawaih yang dilahirkan pada 330H (941M) di Kota Rhages itu akan terus dikenang sebagai seorang ahli falsafah yang kaya dengan teori-teorinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar